Bahwa sebuah bencana bisa menjadi sebuah kesempatan politis, agaknya telah sejak awal kekhawatiran itu sudah banyak disampaikan oleh para elite sendiri. Dalam rangkaian perjalanan ke Aceh ini, Tim Relawan IT Air Putih menjumpai sendiri kenyataan tersebut.
Kita merasakan sejak awal hal ini. Banyak pengiriman relawan ditumpangi oleh kepentingan politis. Demikian juga motif2 operasional mereka di lokasi bencana. Semua seperti berlomba mendapatkan kredit point dengan tingkah egosentrisme yang keterlaluan, bahkan cenderung memalukan dan bikin muak.
Banyak pihak memanfaatkan situasi ini untuk tujuan yang kurang tulus, memperoleh simpati dan kepahlawanan. Sesuatu yang absurd dalam kondisi darurat dan kritis semacam ini. Sebab pahlawan sesungguhnya, adalah para korban dan survivor, bukan relawan atau petugas dan pejabat publik.
Menjadi relawan adalah panggilan kewajiban kemanusiaan, bukan sebuah sikap untuk tujuan lain. Para petugas dan pejabat publik, bahkan politisi, mereka harus melakukan ini karena itulah tugasnya. Mereka digaji oleh negara, uang rakyat dan menjalankan kewajiban politis dari jabatan yang harus dipertanggungjawabkan pada publik. Sekali lagi, itu juga bukan bagian dari sikap kepahlawanan.
Sehingga ketika mereka ini, memposisikan diri sebagai elite yang harus dapat prioritas dan karenanya membuat misi2 yang lebih tulus terpaksa minggir atau dijadwal ulang bahkan batal berangkat, maka itu adalah suatu pengkhianatan terhadap saudara2 kita yang sedang menderita. Tim AirPutih mengalami dan melihat kenyataan ini dengan sangat sedih.
Di halim, tumpukan bantuan seperti tidak ada yang memperhatikan ataupun mengurusnya. Baik di terminal maupun dalam area runaway lanud. Sejumlah pesawat TNI justru sibuk memfasilitasi pejabat dan rombongannya serta para relawan elite yang tidak jelas apa urusannya ke Aceh. Bahkan menjadi suatu acara selebritis ketika media elektronik meliputnya dengan skenario ekspose dan dramatisasi. Melupakan etika jurnalistik terdistorsi pesanan politis.
Di sisi lain, puluhan dan ratusan relawan dari segenap penjuru negeri, nampak terlantar menunggu giliran pemberangkatan yang tidak pasti. Bahkan dengan semena2 di-cancel, diusir bahkan dimarahi oleh petugas2 yang sok kuasa. Apa mereka itu sudah tidak memiliki nurani lagi dan memandang dirinya jauh lebih mulia dari para relawan yang menyediakan jiwa raga serta harta bendanya itu? Mereka mengulurkan tangan dengan tulus sementara para petugas itu hanya menjalankan tugas yang itupun tidak dilakukannya dengan becus!
Kondisi di daerah pun sama, dari Jogja, Malang dan daerah2 lain masuk kabar bahwa mereka tidak mendapatkan jadwal keberangkatan yang pasti baik itu melalui jalur komersial maupun pemerintah/militer. Padahal konsentrasi bantuan dan relawan menumpuk dimana2. Semua butuh segera ke Aceh dan tak ada satu pun lini birokrasi yang mampu memberikan solusi. Akhirnya mereka harus berangkat dengan berbagai cara, persis supporter bola yang hendak “ngelurug”, menonton kesebelasan pujaannya bertanding.
Sesungguhnya para petugas dan pejabat itu mereka jauh hina, karena dalam situasi genting semacam ini tak melakukan apa2 sementara mereka punya kekuasaan yang memungkinkan mereka menyediakan resource dan manfaat yang besar bagi semua pihak demi pertolongan pada Aceh yang sedang menangis darah.
Setiap detik di Aceh harus dibayar dengan nyawa! Dan sangat sedikit birokrasi di negeri ini yang memiliki kesadaran intelektual semacam ini.
Justru armada asing (Australia, AS) dengan tegas memprioritaskan angkutan bantuan serta relawan. Tanpa seleksi dan diskriminasi politis bahkan dengan sikap pelayanan bak maskapai Internasional kelas utama!
Tim AirPutih merasakan sendiri, bagaimana sebuah tim militer Australia dapat bersikap sangat ramah dan perhatian walaupun terkendala bahasa dan budaya. Jauh lebih ramah dari layanan penerbangan kelas utama negeri ini. Sebelum dan selama perjalanan mereka sangat melayani, bahkan urusan toilet dalam pesawat Hercules pun mereka perhatikan dan memberi notice pada setiap relawan yang menumpang.
Ketika lewat sepanjang garis pantai barat Aceh, mereka memberi kesempatan para relawan untuk melakukan observasi medan dari udara. Terbang dalam jarak dekat dengan ketinggian rendah yang kita tahu itu sangat beresiko dan mereka tetap lakukan! Sehingga mereka menunjukkan kualitas mental sesungguhnya sebagai Tim yang bekerja untuk tugas kemanusiaan. Saya dan sejumlah rekan relawan Air Putih maupun PMI yang ada di situ, sesungguhnya merasa malu, karena bangsa kita sendiri ternyata tidak memililiki kesadaran dan mental persaudaraan dalam kemanusiaan semacam itu.
Di bandara Aceh, kondisi serupa kita alami lagi. Di satu sisi, sejumlah besar petugas asing, helikopter US Navy dan alat2 angkut barang nampak bekerja tanpa henti tanpa banyak ba bi bu, bahkan mereka seperti robot yang sudah tahu persis apa yang harus dilakukan secara efektif dan efisien. Tanpa banyak bicara!
Di sisi lain, sejumlah besar petugas dan pejabat kita justru nampak sibuk dan saling bersitegang hanya untuk mengurusi kunjungan para pejabat termasuk presiden SBY. Mereka bekerja keras hanya agar Bapak senang. Sementara sejumlah besar bantuan untuk rakyatnya, tidak mereka urus. Bahkan justru sejumlah birokrasi rumit tetap dilakukan dan menjadi hambatan luar biasa.
Penulis menjumpai banyak sekali Tim Relawan yang sudah menunggu berjam2 bahkan berhari2 dan harus bolak balik ke bandara hanya untuk mendapatkan barang2 mereka, termasuk distribusi obat2an yang sangat diperlukan. Sedang angkutan berat sangat sulit didapatkan. Semua petugas yang seharusnya bertanggung jawab nampak lepas tangan.
Sejumlah Tim Relawan, nampak bekerja dengan inisiatif sendiri tanpa suatu koordinasi. Misalnya dari PMI gabungan dari berbagai daerah, bekerja keras merawat pengungsi dg. kondisi mengenaskan dan serba seadanya. Tenda darurat mereka nampak sudah tak mampu lagi menampung, sementara tidak jauh dari lokasi itu, sejumlah tenda mentereng berdiri untuk supporting kunjungan pejabat dan kelompok relawan elite. Yang bahkan untuk melayani masyarakat pun mereka mendapat suatu pengawalan khusus. Sungguh sebuah situasi paradoks.
Tim PMI gabungan di bandara, mengaku, sejak mereka tiba (dengan berbagai kesulitan yang sama), beberapa hari yang lalu, mereka belum sekalipun ke lokasi utama bencana (pusat kota Banda Aceh). Pertama, mereka tidak memiliki supporting tim di lokasi, kedua tak ada transportasi dan ketiga tak ada yang mengkoordinir penyaluran relawan. Mereka bekerja dengan inisiatif sendiri dan tidak tahu kemana harus pergi untuk mendapatkan peralatan medis dan obat2an yang mereka perlukan. Padahal di seberang mereka tumpukan barang bantuan dan tentu saja di dalamnya ada obat2an, teronggok begitu saja tak terurus.
Mereka akhirnya memutuskan menugaskan diri sendiri di areal bandara karena tak tersedia tim medis yang memadai di situ meskipun pengungsi banyak bertebaran di sekitar bandara. Termasuk orang2 terlantar yang ingin keluar dari Aceh.
Demikian juga sejumlah besar Tim Relawan yang baru tiba, nampak bingung, tak tahu harus kemana dan bagaimana. Transportasi tak tersedia dan tidak ada satupun petugas bandara maupun birokrasi yang merasa bertanggung jawab melayani mereka. Sekali lagi, mereka lebih concern pada kunjungan pejabat ataupun hanya mau melayani tim relawan elite yang disponsori oleh pejabat ataupun membawa misi2 poilitis.
Jawaban yang sangat menyedihkan kami terima, semua transportasi bahkan truk militer seluruhnya habis digunakan untuk evakuasi jenazah disekitar lokasi dimana presiden SBY akan berkunjung. Bahkan sejumlah besar mayat ini direlokasi ke tempat2 yang tak terlihat. Jalan2 dibersihkan dengan effort yang luar biasa. Mendadak, semua fasilitas tersedia, listrik, air, komunikasi dsb. pendeknya semua barang langka yang sebelumnya seperti mustahil bisa diselenggarakan di Banda Aceh.
Pertanyaannya, apabila mereka mampu melakukan itu, mengapa baru saat ini dilakukan? Hanya karena pejabat berkunjung? Dan mengapa upaya dan juga fasilitas itu lantas dihentikan lagi ketika presiden sudah kembali ke Jakarta? Padahal jenazah2 itu bagaimanapun tetap harus secepatnya dievakuasi.
Padahal, rakyat membutuhkan itu semua justru setelah semua pejabat minggat dari bumi Aceh.
Kami melihat dan mendengar cerita, bahwa posko2 resmi di pusat kota kini dikuasai oleh tim relawan elite dengan pakaian seragam mentereng dan juga mendapatkan fasilitas luar biasa. Ketika rakyat kesulitan air bersih, mereka justru masih bisa mandi dan berdandan. Mereka bisa makan di depan rakyat yang telah kelaparan selama seminggu penuh. Bahkan posko gubernuran, dari laporan Anjar dan Valens, sudah berubah menjadi studio infotainment multinasional dengan fasilitas yang luar biasa lengkap dan relawan2 kosmetik yang bekerja untuk kepentingan politis, pencitraan, dramatisasi, kapitalisasi media dsb.
Sementara diseluruh penjuru lokasi bencana, relawan, para jurnalis, juga relawan asing sesungguhnya bekerja keras dengan kondisi yang sama lusuhnya dengan korban yang mereka layani dan terus berjuang mendapatkan resource2 yang selalu diprioritaskan untuk kepentingan2 yang tidak jelas. Resource yang dibutuhkan untuk rakyat Aceh.
Semalam, saya sempat merenung di posko dan menitikkan airmata, melihat kemalangan Aceh, sebuah negeri yang sangat indah dengan rakyatnya yang demikian kuat dan tabah namun terjebak dalam kebusukan pengelolaan bencana di sebuah negara yang luar biasa brengsek. Saya berdoa, semoga para korban dan relawan sejati mendapatkan kekuatan dan jalan untuk menuntaskan misi kemanusian ini.
Saya dan teman2 di Tim AirPutih merasa malu dan kecil dihadapan pekerjaan kemanusiaan besar yang telah, sedang dan akan terus mereka (relawan dan korban) lakukan. Kami sama sekali belum melakukan apa2 dan merasa tidak pantas hadir di sini. (Salahuddien)
Dikutip dari artikel komunitas AirPutih
AirPutih
Situs yang beralamat di www.airputih.or.id adalah situs hasil sulapan para komunitas TI seperti APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), FTII (Federasi Teknologi Informasi Indonesia), Sekolah 2000, IndoWLI (Asosiasi Indonesia Wireless LAN Internet), perusahaan penyedia layanan komunikasi Gen-iD, PSN (PT. Pasifik Satelit Nusantara) dan AWARI (Asosiasi Warnet Indonesia).
Situs yang juga beralamat di http://www.acehmediacenter.or.id ini, berawal dari komunitas mailing list (milis) Airputih. Milis ini berisikan berbagai cerita yang dikisahkan para anggotanya dalam sebuah tulisan. Tergerak untuk berbuat sesuatu berkenaan dengan peristiwa di Aceh, komunitas Airputih kemudian mendapat bantuan dari berbagai pihak untuk membuat situs yang lebih tertata.
www.airputih.tk
www.airputih.or.id
ps:
jannn, kebacut tenan …. jadi keinget salah satu komentar relawan di tipi … indonesia ini kebanyakan seremoni, upacara nya … padahal langsung berangkat tanpa ada upacara serah terima, potret sana potret sini, potong pita, pidato napa ? Aceh, Sumut, Alor, Nabire mana bisa nunggu … :( Pantas ajah seorang camat di Aceh di pecat bupatinya gara-gara kerja klemar-klemer. Dah nyairin dana 30jt dari kabupaten tapi malah nunda ga disalurin. Di satu pihak ada seorang kepala desa yang langsung menguras tabungan sendiri senilai 4jt untuk membantu korban, beli makanan + ngurusin jenazah korban.
Masya Allah….