Pernah mengalami saat-saat menegangkan saat bepergian dengan connecting flight dari maskapai penerbangan yang berbeda? Nah Rara, Eriska dan saya punya satu cerita menarik.
2 Oktober kemarin Rara, Eriska dan saya berangkat ke Santa Clara dengan rute Jakarta – Singapura – Narita, Jepang – San Jose, California. Di Soekarno-Hatta, Rara dan saya ditawari petugas Garuda untuk ikut penerbangan ke Singapura yang jam 6 sore. Tawaran ini akan memudahkan kami di Singapura supaya punya waktu transit yang cukup karena kalo ikut itenerary awal, kami nyaris ga punya waktu transit. Landing di Singapura 23:45, jam 00:45 dah take off lagi ke Jepang.
Hal itu ga bisa saya lakukan karena saya harus berangkat bareng Eriska no matter what. Sementara Eriska masih di Surabaya dan pesawatnya baru akan mendarat di CGK sekitar jam 5 sore. Belum lagi petugas Garuda di Surabaya rada-rada oon soal bagasi. Mintanya langsung ke San Jose lha kok malah disuruh ambil di Singapura, abis itu disuruh ambil ke Narita. Buset dah. Kalau saja petugas Garuda di Surabaya ga oon, kami bertiga bisa ikut flight jam 6 (Eriska bakal dikit lari-lari sih)
Jadilah kami tetap ke itenerary awal dan saya sudah wanti-wanti kalo di Changi nanti kita bakal jadi atlet marathon dadakan. Pindah dari T3 ke T2 Changi itu jarak yang cukup jauh. Dan saya juga ga tau skytrain-nya masih jalan apa ngga jam segitu. Dan benar saja, sesaat sebelum persiapan landing, kami bertiga diminta oleh pramugari Garuda untuk pindah ke barisan depan. Kenapa? Supaya kita bisa keluar pesawat lebih dulu untuk mengejar penerbangan berikutnya. Kru garuda pun sudah koordinasi dengan kru ANA yang sudah standby di T3 Changi.
Kembali teringat pengalaman beberapa tahun lalu di Eropa. Saat itu penerbangan saya dari Paris ke Frankfurt delay, sehingga nyampe di Frankfurt amat sangat mepet dengan penerbangan saya selanjutnya ke Singapura. Lari-lari deh di bandara. OMG, it’s gonna be SSDD.
Begitu keluar pesawat kami bertiga langsung mulai lari untuk mencari letak skytrain serta arah ke T2. Berasa banget karena berat ransel saya saat itu 8.7kg :( Tapi ternyata penderitaan kami ga sampe 2 menit karena di ujung lorong sudah ada staf ANA yang unyu menunggu kami. Ga cuma itu, kami disediakan angkutan (yang disebut sebagai Buggy Car) yang akan membawa kami ke T2. Dari bayangan harus lari marathon, kami sedikit kebut-kebutan di buggy car disertai tatapan aneh para pengunjung Changi malam itu….
Masalah belum berakhir. Di transfer desk, saya lupa kodepos Marriot Santa Clara. Sepertinya efek adrenalin neh :P Kertas-kertas ada di koper atau somewhere deep inside my backpack. Gadget rata-rata masih posisi dimatikan dan WiFi Changi malam itu seakan-akan ngeledekin kami. Beruntung terminal free Internet di dekat transfer desk berfungsi lancar semua. Fiuhhhhh. Dan yang melegakan adalah NH902 malam itu diberitakan delay 10-15 menit. Horeeeeee :P
Alhasil sepanjang 7 jam flight ke Jepang saya pilih tidur saja selepas makan malam.
[box type=”note”]Untuk kru Garuda GA 836, kru ANA kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Tanpa bantuan anda, kami mungkin malah akan tertinggal pesawat.[/box]
bukan cengengesan tapi menghibur diri dari panic station :p
hahaha eriska udah sibuk menahan ketawa sejak keluar dari pesawat garuda haha..
pas udah di buggy car itu saya udah ngerasa aman krn udah ama petugas ANA :D
wuih serunya….hahahha….ole-olenya mana?
Pingback: @nurikidyMozilla Summit 2013 - Day 02 - @nurikidy
Yang menolong pada waktu itu bukan crew. Ada bagian di airline yang bertugas mengatur hal-hal seperti ini.
Ini sama seperti kalau jaringan lagi kusut, yang kerja pasti orang network. Pelanggan taunya customer care karena mereka ada contact point ke customer.
Surely yang beresin bukan customer care dong. :))
Apa kabar Nuri? Semoga masih ingat.
ke dufan lagi kita rame2? :P